Mata itu terbuka perlahan. Beberapa orang
mengerumuninya dengan perasaan cemas. Beberapa diantaranya bahkan tak sanggup
meneteskan air mata. Dan mata itupun akhirnya terbuka. Pemilik mata itu adalah
Dino.
“Astaga!”
Akhirnya Dino mendesis penuh kekaguman.
Dan
beberapa orang langsung tersadar. Seorang gadis kecil berjalan menghampiri Dino
dengan penuh harap. Adik semata wayang Dino itupun duduk dihadapan Dino.
Mengamati wajah tampan sang kakak.
Kedua
tangan dino menyentuh wajah Thea, gadis kecil tersebut, kemudian membelainya.
“Thea,
kakak....kakak bisa melihatmu”serunya, nyaris memekik.
Semua
orang di ruangan itupun ikut terharu. Sebuah kelegaan setelah operasi
transplantasi kornea itu berjalan dengan lancar tak lebih dari dua jam.
“Sekarang
ini masih sangat buram. Tapi pasti akan membaik dalam beberapa hari ini.
Sekarang, yang perlu kita kuatirkan cuma reaksi penolakan mata Dino terhadap
donor yang diterimanya. Tapi saya sudah memberikan obat-obatan pencegah yang
mudah-mudahan bermanfaat. Tinggal dipakai secara rutin saja,” jelas Dokter
panjang lebar.
Dokter
itu kemudian menghampiri Dino. Lalu memakaikan pelindung mata yang sedikit
mirip kacamata renang. “Nah, Dino. Jangan sampai kena air. Jangan sampai kena
benda apapun. Pakai selalu google ini selama paling tidak dua minggu kedepan.”
Sambil
mengangguk mantap, Dino menatap Dokter itu penuh terima kasih. Dalam hati Dino,
sebuah bara api menyala. Bara api yang selama ini terpendam dalam kebutaan Dino
terhadap seseorang yang telah membuat Ia kehilangan sepasang matanya itu.
***
“Kakaaaaaaaaak...
sudah kubilang jangan kemana-mana. Mata kakak kan belum sembuh benar. Lah ini
langsung minta pergi ke Jakarta. Thea kan juga masih sekolah.” Cerca Thea yang
terus membuntuti kakaknya yang sama sekali tidak mendengarkannya itu.
Dino
pun langsung menghentikan langkahnya. Ia menatap adiknya itu kesal. “Aku kan
tidak memintamu mengantarku. Lagi pula mataku juga sudah sembuh, aku sudah
tidak memakai pelindung mata itu. Dokter juga bilang mataku sudah pulih benar. Kamu ini cerewet
sekali. Sana kamu pulang saja, nanti biar aku telponkan tante Neni.” Kata Dino
seraya melanjutkan langkahnya. Kali ini Ia benar-benar mantap.
Thea
hanya terdiam di tempatnya. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya
terhadap kakaknya itu. Ia sangat tahu sifat keras kepala kakaknya. Tentu
tidaklah mudah menghentikan niat kakaknya selain... selain... tiba-tiba Thea
teringat sesuatu. Ia bisa menebak kemana kakanya itu akan pergi.
“Apa
kakak akan menemui kak Rendhi ? Apa kakak akan melakukan sesuatu terhadapnya ?”
tanya Thea hati-hati.
Dino
kembali menghentikan langkahnya. Mendengar nama musuh bebuyutannya itu disebut
hatinya terasa sangat marah. Sebisa mungkin Ia menahan amarahnya iu di depan
adiknya. Kemudian Ia membaliknya badannya.
“Tidak.
Aku sama sekali tidak terpikirkan untuk menemuinya. Aku akan pergi menemui
pelatih Nando, hey adik kecil !” Jawab Dino enteng. Ia tidak mungkin mengatakan
bahwa Ia akan pergi menemui Rendhi.
“Apa
kakak akan bermain bola lagi?” Tanya Thea girang. Harapan yang selama ini
dinantikannya mungkin akan terwujud.
Dino
hanya mengangguk kemudian langsung pergi meninggalkan Thea. Ia langsung menaiki
taksi yang sudah menantinya di depan hotel. Kali ini Thea benar-benar merelakan
kakanya pergi karena alasan yang diberikan adalah harapan yang selama ini
dinantinya dan seluruh keluarganya.
Sementara
itu, di dalam taksi Dino terus merasa cemas. Keringat dingin mengucur di
seluruh tubuhnya. Ia memang akan meniti karirnya lagi menjadi pesepak bola
profesional seperti sebelumnya. Namun kembali bayangan Rendhi muncul di
hadapannya sebagai rekan satu tim. Kebencian akan orang yang telah merenggut
kedua matanya serta memporak-porandakan karirnya itu, serta kebencian karena
telah membuat ibunya yang rela mati demi mengorbankan sepasang mata untuknya.
Hatinya kembali teremas-remas oleh amarahnya. Ia menghela nafas panjang. Ia tak
boleh terbawa emosi. Setelah uji coba untuk kembali masuk ke klub selesai,
mungkin ia akan menyelesaikan masalahnya dengan Rendhi yang tak pernah datang
menemuinya bahkan untuk sekedar minta maaf.
Setelah
beberapa lama, taksi itu sampai di tujuan. Dino segera turun. Ia menatap
bangunan besar di hadapannya. Tempat dimana dulu Ia meniti karirnya bersama tim
kesebelasannya sebelum Ia kehilangan sepasang matanya. Dengan mantap, Ia masuk
ke bangunan tersebut.
***
Sebuah
peluit panjang berbunyi. Dan seorang laki-laki jakung itu langsung memulai
untuk mengoper bola. Di atas lapangan hijau itu, beberapa orang mengerumuninya
untuk melihat aksi yang dulunya pahlawan sepak bola. Beberapa bola berhasil
menjebol gawang berkat laki-laki tersebut. Ya, laki-laki itu tak lain adalah
Dino. Kembali sebuah peluit panjang mengakhiri laga uji coba tersebut. Seorang
pelatih menghampiri Dino sambil bertepuk tangan. Wajahnya sangat sumringah
melihat penampilan Dino.
“Ckckck,
hebat sekali permainanmu Dino. Sama sekali tidak berkurang dengan sebelumnya.
Bahkan kulihat ada banyak sekali peningkatan. Sulit dibayangkan bahwa kamu dulu
pernah kehilangan matamu. Luar biasa.” Salut pelatih bernama Nando. Kemudian ia
duduk di atas lapangan disamping Dino.
Dino
hanya tersenyum ringan. Kemudian ia meneguk air mineral hingga habis.Ia tahu
benar yang telah membuat penampilannya tadi gemilang bukanlah semata wayang
akan dirinya, tetapi adalah semangatnya.
Setelah
berbicara panjang dengan pelatih melepas kerinduan setelah beberapa tahun tidak
bertemu, Dino pamit untuk pergi ke asrama pemain bola. Ada seseorang yang ingin
Ia temui.
Sesampainya
di asrama, Ia sengaja memakai kacamata hitam yang dulu sering digunakannya. Ia
bahkan memakai tongkat. Ia berjalan dengan santainya mengitari ruangan tersbut.
Ada sedikit kerinduan di hatinya. Hingga pada suatu koridor, ia bertemu dengan
segerombolan orang. Ia tahu benar siapa mereka. Ya, itu adalah teman-temannya !
Ia berhenti sejenak dan mengetok-ngetok tongkatnya ke lantai. Mereka langsung
menyadari kehadiran Dino.
“Dinooooo!!!!!”
seru mereka nyaris bersamaan. Beberapa diantara mereka bahkan langsung memeluk
Dino. Beberapa pertanyaan langsung mencerca Dino dari teman-temannya itu. Dino
hanya menjawab sekenanya. Ia mencari-cari sosok Rendhi. Dan akhirnya Ia
melihatnya disudut koridor hanya terdiam. Wajahnya pucat. Beberapa saat
kemudian, Rendhi pergi meninggalkan teman-temannya termasuk Dino. Ia pergi
tanpa mengatakan apapun. Dibenaknya, Ia masih mengira bahwa Dino buta.
Melihat
Rendhi yang pergi dan melintasinya, Dino langsung melepaskan pelukan
teman-temannya.
“Begitu
melihat teman yang 2 tahun tidak kau temui, apakah itu perlakuanmu? Setelah 2
tahun kehilangan mataku, apa kau pikir aku akan diam saja ?” tanya Dino sambil
menoleh dan membalikkan badan menghadap Rendhi.
Rendhi
langsung menghentikan langkahnya. Teman-teman yang mendengarnyapun tersentak.
Seketika ruangan langsung hening. Perlahan, dino melepas kacamata dan melipat
tongkatnya. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke teman-temannya, termasuk
Rendhi. Kemudian Ia tersenyum.
“Ya,
aku sudah mendapatkan donor kornea dari ibuku sendiri yang beberapa bulan lalu
meninggal dunia. Aku bahkan sudah melakukan ujicoba tadi dengan pelatih Nando.
Dan hasilnya... aku kembali bergabung dengan tim” jelas Dino.
Serentak
temannya mengucap selamat kepada Dino, kebahagiaan akan kembalinya sang
pahlawan. Sementara itu, Dino kembali menatap Rendhi. Rendhi masih terdiam dan
menunduk. Wajahnya bahkan semakin pucat. Melihatnya, Dino langsung meminta
teman-temannya untuk membiarkan dirinya dan Rendhi untuk berbicara berdua.
Teman-temannya itupun langsung meninggalkan mereka berdua. Paham.
Dino
berjalan selangkah menghampiri Rendhi. Ia menahan perasaannya. Rendhi masih
menunduk.
“Ma maafkan aku Din, sungguh aku minta maaf..
aku.. aku...” kata Rendhi terbata-bata. Tak terasa air mata meleleh dari sudut
matanya.
Dino
menghela nafas, kemudian menjawab, “Setelah menghilangkan penglihatanku,
setelah membuat ibuku mengorbankan nyawanya hanya demi aku, setelah membuat
karirku hancur begitu saja, kau bahkan masih berpikir aku aku memaafkanmu ?!”
seru Dino dengan suara tertahan. Sebisa mungkin Ia tidak meluapkan emosinya
untuk memukul Rendhi.
Rendhi
terdiam. Ia mengangkat kepalanya. Air mata semakin deras. Ada kebingungan di
wajahnya.
“Apa
ibumu ..” tanya Rendhi tak sanggup mengataknnya.
Dino
hanya tersenyum sinis. Batinnya semakin terkoyak. “Ya! Tapi apa yang kau
lakukan sampai saat ini, Ha ?! Dengar baik-baik ya.Posisimu sebagai striker
terbaik disini aku kurebut. Dan apa kau tahu, pertandingan melawan Thailand
nanti, pelatih telah memintaku untuk menjadi kapten ! Sama sekali bukan kau !
Apa kau tahu apa artinya itu ? Semua kesuksesan yang kau raih diatas
penderitaanku itu sedikit demi sedikit akan kuhancurkan !” Kata Dino dengan
suara dikuat-kuatkan. Kemudian, Dino langsung meninggalkan Rendhi sendiri. Di
ruangan itu sendiri, dengan perasaan hancur lebur.
***
Seperti
apa yang dikatakan Dino, petaka itu benar-benar datang kepada Rendhi ! Posisi
terdepan striker kini dipegang oleh Dino. Dan bukan hanya itu, selama beberapa
pertandingan, Rendhi yang biasanya paling banyak mencetak gol, kini sama sekali
tidak menghasilkannya. Setiap bola yang digiring oleh Rendhi dengan mudahnya
direbut oleh Dino. Rendhi yang selama ini digandrungi oleh teman-temannya pun
kini satu persatu beralih ke Dino. Berbagai infotaiment pun mengbarkan
kegemilangan Rendhi yang selama ini Ia capai telah jatuh ke tangan Dino, pemain
yang dulu berjaya.
Mau
tak mau, berita itupun terdengar ke pelatih Nando. Ia dapat mencium bau
permusuhan antara Dino dan Rendhi. Pagi itu juga, Ia langsung memanggil Dino
keruangannya.
“Mengapa
kamu melakukan ini terhadap Rendhi ? Kenapa kamu tidak mau mengoper bola
sekalipun kepadanya ? kenapa kau tidak pernah memberikannya kesempatan untuk
menggiring bola? Kamu pikir pertandingan itu milikmu?” Cerca Pelatih Nando
dengan sengit. Ia tidak mengharapkan ada permusuhan di klub asuhannya itu.
“Tidak
ada. Sama sekali tidak ada yang terjadi dengan kami. Aku hanya memberikannya
sedikit pelajaran kepadanya.” Jawab Dino enteng.
Pelatih
Nando menghela nafas panjang. Sangatlah susah memadamkan dendam yang sudah
membatu selama 2 tahun itu. “Itu adalah kecelakaan Dino.Bagaimana pun Rendhi
tidak bersalah meskipun Ia yang menggoncengkanmu. Bukankah polisi juga
mengatakan itu adalah kecelakaan?” Pelatih Nando sebisa mungkin memberikan
penjelasan.
“Kecelakaan
kata bapak? Jika saja waktu itu Rendhi tidak memaksaku untuk pergi, aku tidak
akan kehilangan sepasang mataku. Ibuku juga tidak akan kehilangan nyawanya demi
aku !” Bentak Dino. Amarah di hatinya tak tertahankan.
Pelatih
Nando kembali menghela nafas. Kali ini, ia akan mengatakan sebenar-benarnya.
“Apa kau tahu, 2 tahun lalu Rendhi berusahan
akan bunuh diri? Apa kau tahu betapa putus asanya Rendhi begitu mendengar kamu
kehilangan penglihatan? Ia berusaha meyakinkanku untuk tidak mengeluarkanmu
dari tim. Ia rela keluar dari tim jika itu akan membuatmu puas. Tapi
kenyataannya, dia tidak bisa keluar begitu saja, karena waktu itu dia adalah
tulang punggung keluarganya. Ayahnya yang sakit-sakitan dan Ibunya yang telah
meninggal dunia, dan ketiga adiknya yang masih harus bersekolah, apa kau tidak
tahu itu?” Jelas Pelatih Nando.
Dino hanya terdiam. Tak disangka ada sebuah
kenyataan dibalik semua.
“Tapi, setidaknya ia meminta maaf kepadaku?
Setidaknya dia memohon kepada ibuku untuk tidak melakukan semua ini!” Sengit
Dino.
Pelatih Nando menatap Dino dalam. Ia tahu
bahwa selama ini Dino hanya menelan api kesalah pahaman. “Dia sudah
melakukannya. Berkali-kali. Tapi Ibumu tidak pernah mengijinkannya. Ibumu tahu
apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu dengannya. Dan juga... Ibumu tidak
meninggal dengan mengorbankan nyawanya begitu saja, dia meninggal karena
penyakit Dino..” lirih Pelatih Nando.
“Ibu sakit juga karena dirinya! Ibu sakit
karena tidak kuat melihat penderitaanku!” pekik Dino.
“Anakku, kamu tidak boleh menyalahkan takdir
hanya karena perasaan dendam. Aku tahu benar bagaimana penderitaanmu atas
kehilangan sepasang mata dan ibumu. Tapi kau harus tahu, kau tidak boleh
menyalahkan Rendhi. Jika kau menyalahkan oranglain atas kehendak Yang Maha
Kuasa, maka tak ada bedanya kau ini dengan pecundang”
“Dengar baik-baik. Mulai sekarang, aku tidak
ingin mendengar kalian berdua bermusuhan. Kau juga tidak boleh egois
terhadapnya. Jika saja waktu itu kau mau bekerja sama dengan Rendhi, mungkin
kalian berdua akan menjadi mesin pencetak gol sepanjang masa. Lagi pula, ini
bukanlah permainanmu. Ini adalah permainan kita semua. Kita bermain bukan untuk
mendapat ketenaran. Kita bermain untuk Sang Garuda. Bagaimanpun perasaanmu
terhadap seseorang, kau tidak boleh menyangkutkan itu dalam sepak bola” Jelas
Pelatih Nando panjang lebar.
Dino hanya terdiam. Dalam hatinya gerimis
perlahan menyirami api dendam yang selama ini menyala. Dari lubuk hatinya, ia
juga tidak ingin mencari musuh dengan teman-temannya. Kali ini ia sadar.
Setetes demi setetes air mata meleleh dari sudut matanya. Benar, Ia telah
mempermalukan nama Garuda demi kebencian di hatinya.
Ia
berjanji dalam hati. Ia akan meminta maaf kepada semuanya. Ibunya,
teman-temannya, Rendhi, dan yang paling penting, Sang Garuda.
Cerpen tema nasionalisme *tugas MOS* hehe