Sabtu, 03 Desember 2011

Setetes Embun di Hati Niluh


Sebuah patung tinggi besar berdiri kokoh seolah tak peduli tercabik-cabik ganasnya mentari. Gumpalan asap kendaraan menambah nyanyian khas tengah kota. Beberapa kendaraan yang keras kepala pun ikut memadati dan menciptakan bunyi sumbang di udara. Aroma kota tengah hari bagaikan neraka versi tangan manusia. Kembali kubenahi letak topiku. Keringat sebesar biji jagung tak henti-hentinya mengucur di permukaan tubuhku. Beberapa lembar tisu tak sanggup menyeka keringat yang semakin membanjir di tubuhku. Aku tak peduli.
            Kembali kuabadikan sonata kota Solo yang membara. Rumah-rumah kumuh tak luput dari jepretan kameraku. Gedung-gedung bergaya aristokat nan kapitalis sedikit kuabaikan. Di tanah kelahiranku bangunan seperti itu sudah biasa menjejali setiap kawasan pariwisata, Ya sebut saja Pulau Dewata. Hanya bedanya tak ada bangunan yang melebihi tempat peribadatan Pure, demi suatu penghormatan kami.
            Untuk kesekian kalinya kameraku tak henti-hentinya membidikkan sasaran gambar. Kini, kuedarkan pandangan di sekitarku. Rasanya telah cukup memadati memori klis kameraku. Kurebahkan tubuh penatku di sebuah tangga di pinggir jalan. Lelah sekali rasanya sejak tadi berkonsentrasi mengambil gambar. Kurenggangkan jemariku. Sejak tadi ia menari-nari di atas tombol pengambil gambar.
            Sesosok bocah kecil berpakaian lusuh menarik perhatianku. Sebuah kaleng peot dikalungkan di lehernya. Beberapa orang yang melintas di hadapannya memasukkan uang receh ke dalamnya. Suatu pemandangan ganjil yang jarang kutemui di Bali meski tidak sulit menemui pengemis di kotaku, namun setidaknya di Bali masih sedikit ‘layak’ dalam parameter status sosial. Kubiarkan ia berjalan ke arahku. Aku ingin melakukan hal yang sama terhadapnya dan memberinya sedikit pertanyaan. Namun belum sempat ia menghampiriku, tiba-tiba seseorang menariknya. Seorang gadis berjilbab menarik lengannya dan memelototinya. Aku tersentak. Gadis itu memarahi bocah kecil pengemis tersebut. Yang membuatku heran adalah siapa sosok gadis itu. Penampilannya jauh berbeda dengan bocah pengemis yang lusuh. Gadis itu bahkan mengenakan busana yang kupikir termasuk kalangan atas. Sesaat kupikir ia bermaksud melarang bocah itu mengemis di area perbelanjaan ini. Tapi apa hak nya ? Begitu pula dengan orang-orang di sekita sini. Tak ada yang menghiraukan mereka beradu mulut. Hal itu mendorong diriku menghampiri mereka.
            “Bukankah sudah kubilang jangan pernah melakukan hal memalukan ini lagi?” Tanya gadis berjilbab tersebut begitu aku mendekat. Bocah tersebut hanya diam menunduk, membuatku semakin ingin membelanya.
            “Hey, apa-apaan kau ! Sudah merasa lebih hebat dari bocah ini hah ?! Jangan berlagak ya nona. Mentang-mentang kau lebih mampu darinya lantas kau menghinanya ? Dia bahkan lebih baik dari pada parasit sepeti kau yang bisanya merengek ke orang tuamu ! cepat lepaskan dia, hey kurang ajar !” Bentakku pada gadis berjilbab itu.
            Baik gadis berjilbab itu maupun bocah tersebut malah menatapku heran dan mengerutkan kening. Kupikir bocah itu akan memihakku, namun justru sebaliknya. Ia semakin ketakutan.
            “Maaf, kamu ini siapa ? Kami tidak punya urusan denganmu ya, nona” Tanya gadis itu tak mengacuhkanku.
            “Ya memang aku tak punya urusan dengan mu. Tapi jika kau berani melarangnya mencari uang di sini, itu termasuk urusanku” Jawabku tak mau kalah.
            Gadis itu nampak semakin heran melihatku, mungkin saja baru pertama kali ada orang yang menentangnya sepertiku.
            “Maaf ya mbak, tapi ini memang tanggung jawab saya melarangnya melakukan hal memalukan ini mbak” Ujar gadis itu semakin membuatku kesal.
            “Kau pikir, kau yang punya tempat ini sehingga merasa punya hak melarangnya?” Tanyaku sengit.
            Beberapa orang tadinya tak menghiraukan kami kini malah mengerumuni kami. Aku merasa di atas angin. Kalau begini kan jelas siapa yang salah.
            Gadis itu tersenyum lembut, suaranya melunak “Maaf ya kalau Mbak salah sangka. Tapi yang jelas saya bukan maksud apa-apa. Saya ini cuman melaksanakan kewajiban saya. Adik ini, sayalah yang merawatnya. Saya juga yang bertanggung jawab terhadapnya. Jadi jika yang ia lakukan tadi adalah kesalahan, maka saya wajib mengingatkan sebagai bentuk tanggung jawab saya, sekaligus yang merawat Adik ini” Penjelasannya yang tutur perlahan membuka arah pikiranku yang tadi memanas. Amarah yang tadi berkobar-kobar berganti menjadi rasa malu yang amat sangat. Orang-orang yang baru berkerumun langsung mengerti begitu mendengar penjelasan gadis berjilbab itu.
            Aku hanya terdiam malu.Sungguh rasanya benar-benar bodoh. Kulemparkan senyum masam padanya. Nampaknya gadis itu pun mengerti. Ia bahkan menjulurkan tangannya dan menyalamiku. Wajah putih bersihnya memberi senyum pengertian kepada kami semua.
            Kerumunan perlahan bubar. Aku merasa tidak enak ikut meninggalkan merekatanpa pamit begitu saja, apalagi kepada gadis tersebut.            Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Faras. Rupanya memang seorang aktivis jalanan. Walau sebenarnya ia tak bergabung dalam LSM mana pun, namun ia sering membantu para anak-anak gelandangan, pengamen, pengemis. Suatu hal yang tak pernah kukenal sebelumnya dalam kehidupan pergaulanku yang selama ini kupikir sangat borjuis.
            Kami bercakap-cakap sebentar, lalu aku pamit untuk kembali ke hotel. Sungguh pertemuan yang sangat menarik dengan gadis bernama Faras itu. Ia berjanji akan mengajakku berkeliling kota Solo lain kali.
***
            Sudah sekitar dua minggu kuhabiskan waktuku di Solo. Dan petualaganku kali ini berbeda. Ya, dengan ditemani Faras seolah liburanku sangat berarti. Aku mendapat berbagai banyak hal yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Memang sesuatu yang berbeda. Hampir setiap hari Faras mengajakku mengunjungi tempat-tempat penampungan anak-anak jalanan. Hampir setiap hari pula Faras mengajariku menjadi seseorang berjiwa sosial. Walau kadang aku harus menunggu selesai kuliah, tapi aku senang bias menghabiskan bersamanya dan juga anak-anak jalanan yang lain. Begitu pula hari ini.
            Solo yang menyengat sudah biasa. Aku terduduk letih. Beberapa kali aku menyeruput dinginnya es campur ditemani Faras. Kali ini kami telah mengunjungi sebuah panti asuhan dan membagikan beberapa bantuan bersama teman-teman aktivis Faras lainnya. Rasa lelah nampaknya juga diraskan faras walau hal itu sudah biasa merupakan makanan sehari-harinya.
            Kami berdua terdiam sama-sama menikmati es campur. Iseng kutanyakan padanya
            “Menurutmu apa yang kau dapatkan dari semua ini? Apa kau tidak takut jika suatu hari kau tak sanggup lagi menghidupi mereka? Apa kau tak takut jika itu justru membuat mereka tak bias mandiri ?” Tanyaku.
            “Kau sendiri ? Apa kau merasakan manfaat dari petualanganmu selama ini? Perlarian dari orang tuamu, mengkhianati kepercayaanmu sendiri bahkan?” Pertanyaan Faras yang tak terduga tersebut membuatku tersentak.
            Aku hanya menggeleng. “Lalu?” Tanyaku kembali.
            Faras menghela napas panjang, dan menjawab “Aku tak ingin mencari nilai materiil dari apa yang aku lakukan. Aku hanya mencari keikhlasan dari setiap amal perbuatanku, begitu pula dengan temanku lainnya. Kalau soal hal itu akan memanjakan mereka, tentu saja aku juga sudah memikirkan itu sebelumnya. Aku tak mungkin membiayai keperluan mereka semua. Aku hanya membiayai bagi mereka yang ingin maju. Aku tak takut jika suatu hari nanti aku tak bias menghidupi mereka lagi, sebab aku tahu, masih banyak tangan-tangan dermawan yang mau mengulurkan tangannya kepada mereka”
            Kini aku mengerti. Jiwa lembut Faras yang seolah tak pernah hilang digerogoti tantangan sosial ini. Lantas aku? Aku bahkan tak pernah menemui sesuatu yang pernah berarti dalam hidupku.
            “Memangnya arti keikhlasan itu sendiri apa ?” Tanyaku begitu saja tanpa sadar.
            Faras tersenyum lembut. “Kau belum merasakannya ya? Periksa hatimu. Mungkin telah hangus terbakar riya” Jawab Faras tak kumengerti.
            Belum sempat aku lemparkan pertanyaan berikutnya, seorang gadis kumal kecil berlari kearah kami. Tubuhnya terengah-engah akibat berlari kencang. Faras yang melihatnya penasaran.
            “Ada apa Sekar?” Tanya Faras heran, begitu pula aku.
            “Mbak Faras, bagaimana ini… Si Bayu Mbak, dia tertangkap basah mencopet” Kalimat yang diucapkan gadis itu membuat kami tersentak kaget bukan main.
            “Bayu? Mencopet? Kenapa ?” Tanya Faras tak percaya. Sekar hanya menggeleng.
            Kemudian Sekar mengantarkan kami di tempat kejadian. Dari kejauhan, aku melihat kerumunan. Faras berjalan mendahului kami dan menorobos kerumunan. Aku pun berlari menyusulnya.
            Kulihat sesosok laki-laki kurus kumal itu tertunduk malu. Matanya sembab. Ada beberapa bekas lebam di pipinya. Faras yang sejak tadi berbicara dengan bapak-bapak yang kupikir ‘korban’ pencopetan itu meminta pengertian. Ia mengatakan bahwa Bayu masih di bawah umur. Lagi pula Bayu tidak mengambil sepeser uang pun dari dompet Bapak tersebut.
            “Enak saja. Maling ya tetap saja maling. Saya tetap akan melaporkan ini ke pihak yang berwajib. Kau pikir akan kubiarkan begitu saja sampah masyarakat ini, hah?” Bentak Bapak-bapak tersebut.
            Faras tak henti-hentinya meyakinkannnya. “Tapi dia masih di bawah umur. Lagi pula ini pertama kalinya dia mencuri. Saya yakin itu. Saya kenal sekali dengan anak ini.” Kata Faras seraya menunjuk Bayu.
            Bapak itu tak peduli. Ia justru akan menuntut Faras juga sebagai pertanggung jawaban. Kulihat sekilas Bayu menangis. Faras terus memohon kepada bapak tersebut dan meminta bentuk pertanggung jawaban yang lain. Bapak itu terdiam sejenak.
            “Ganti rugi!” Jawab Bapak itu.
            “Berapa?” Tanyaku kali ini ikut menengahi.
“Lima ratus ribu!” jawab bapak itu tak ragu sama sekali.
Baik aku maupun Faras tersentak. “Bapak kira ini kejahatan macam apa ? Saya bisa menuntut balik perlakuan Bapak ini!” Aku melihat Bapak itu tak peduli dan tetap pada keputusannya. Aku kembali menengahi,
“Baik. Ini. Cukupkan ?” Kataku seraya menyodorkan lima lembar seratus ribuan dari dalam dompetku. Kulihat Bapak itu setuju.
Faras tersenyum masam kepadaku, tak enak menerimanya. Aku hanya tersenyum. Keikhlasan tak bisa dinilai dari materiil bukan? Ya, kali ini aku bisa merasakannya. Indahnya suatu keikhlasan.
Tiba-tiba Bayu berlari kabur meninggalkan kami. Faras terperanjat. Aku pun langsung berlari mengejarnya. Secepat kilat kulihat tubuh Bayu menyelinap diantar kerumunan pinggir jalan. Ia berhasil keluar. Kulihat ia akan menyebrang jalan. Sial! Aku pun berlari semakin kencang dan berhasil menarik lengan Bayu. Bayu berusaha mengelak. Aku pun tak bisa menahannya hingga sebuah sedan yang sedang melaju kencang di jalanan yang renggang melintas kencang kearah kami. Kutarik lengan Bayu cepat. Dan ….
“BRAKKK” Tubuhku terlempar beberapa meter. Suara benturan keras mengoyak suasana yang ricuh.
Aku terkapar tak berdaya. Kurasakan sakit yang teramat sangat. Ada darah mengalir dari sudut kepalaku. Bumi seperti bergoyang. Keikhlasan, batinku. Kembali terngiang kalimat Faras di benakku. Ya, kali ini aku bnar-benar merasakannya. Kesejukan dari nilai keikhlasan di hatiku yang gersang.
Kulihat sekilas Faras berlari mendekatiku dengan wajah pucat. Kemuadian aku tak sanggup membuka mata. Darah yang mengalir semakin deras. Hati nuraniku memilah-milah kesedihan yang bercampur beningnya pengorbanan ini. Aku merintih pelan. Dan kini kutahu, selama ini, inilah yang kucari. Kesejukan di hatiku. Dan aku pun tak sadarkan diri.

Sabtu, 03 Desember 2011

Setetes Embun di Hati Niluh


Sebuah patung tinggi besar berdiri kokoh seolah tak peduli tercabik-cabik ganasnya mentari. Gumpalan asap kendaraan menambah nyanyian khas tengah kota. Beberapa kendaraan yang keras kepala pun ikut memadati dan menciptakan bunyi sumbang di udara. Aroma kota tengah hari bagaikan neraka versi tangan manusia. Kembali kubenahi letak topiku. Keringat sebesar biji jagung tak henti-hentinya mengucur di permukaan tubuhku. Beberapa lembar tisu tak sanggup menyeka keringat yang semakin membanjir di tubuhku. Aku tak peduli.
            Kembali kuabadikan sonata kota Solo yang membara. Rumah-rumah kumuh tak luput dari jepretan kameraku. Gedung-gedung bergaya aristokat nan kapitalis sedikit kuabaikan. Di tanah kelahiranku bangunan seperti itu sudah biasa menjejali setiap kawasan pariwisata, Ya sebut saja Pulau Dewata. Hanya bedanya tak ada bangunan yang melebihi tempat peribadatan Pure, demi suatu penghormatan kami.
            Untuk kesekian kalinya kameraku tak henti-hentinya membidikkan sasaran gambar. Kini, kuedarkan pandangan di sekitarku. Rasanya telah cukup memadati memori klis kameraku. Kurebahkan tubuh penatku di sebuah tangga di pinggir jalan. Lelah sekali rasanya sejak tadi berkonsentrasi mengambil gambar. Kurenggangkan jemariku. Sejak tadi ia menari-nari di atas tombol pengambil gambar.
            Sesosok bocah kecil berpakaian lusuh menarik perhatianku. Sebuah kaleng peot dikalungkan di lehernya. Beberapa orang yang melintas di hadapannya memasukkan uang receh ke dalamnya. Suatu pemandangan ganjil yang jarang kutemui di Bali meski tidak sulit menemui pengemis di kotaku, namun setidaknya di Bali masih sedikit ‘layak’ dalam parameter status sosial. Kubiarkan ia berjalan ke arahku. Aku ingin melakukan hal yang sama terhadapnya dan memberinya sedikit pertanyaan. Namun belum sempat ia menghampiriku, tiba-tiba seseorang menariknya. Seorang gadis berjilbab menarik lengannya dan memelototinya. Aku tersentak. Gadis itu memarahi bocah kecil pengemis tersebut. Yang membuatku heran adalah siapa sosok gadis itu. Penampilannya jauh berbeda dengan bocah pengemis yang lusuh. Gadis itu bahkan mengenakan busana yang kupikir termasuk kalangan atas. Sesaat kupikir ia bermaksud melarang bocah itu mengemis di area perbelanjaan ini. Tapi apa hak nya ? Begitu pula dengan orang-orang di sekita sini. Tak ada yang menghiraukan mereka beradu mulut. Hal itu mendorong diriku menghampiri mereka.
            “Bukankah sudah kubilang jangan pernah melakukan hal memalukan ini lagi?” Tanya gadis berjilbab tersebut begitu aku mendekat. Bocah tersebut hanya diam menunduk, membuatku semakin ingin membelanya.
            “Hey, apa-apaan kau ! Sudah merasa lebih hebat dari bocah ini hah ?! Jangan berlagak ya nona. Mentang-mentang kau lebih mampu darinya lantas kau menghinanya ? Dia bahkan lebih baik dari pada parasit sepeti kau yang bisanya merengek ke orang tuamu ! cepat lepaskan dia, hey kurang ajar !” Bentakku pada gadis berjilbab itu.
            Baik gadis berjilbab itu maupun bocah tersebut malah menatapku heran dan mengerutkan kening. Kupikir bocah itu akan memihakku, namun justru sebaliknya. Ia semakin ketakutan.
            “Maaf, kamu ini siapa ? Kami tidak punya urusan denganmu ya, nona” Tanya gadis itu tak mengacuhkanku.
            “Ya memang aku tak punya urusan dengan mu. Tapi jika kau berani melarangnya mencari uang di sini, itu termasuk urusanku” Jawabku tak mau kalah.
            Gadis itu nampak semakin heran melihatku, mungkin saja baru pertama kali ada orang yang menentangnya sepertiku.
            “Maaf ya mbak, tapi ini memang tanggung jawab saya melarangnya melakukan hal memalukan ini mbak” Ujar gadis itu semakin membuatku kesal.
            “Kau pikir, kau yang punya tempat ini sehingga merasa punya hak melarangnya?” Tanyaku sengit.
            Beberapa orang tadinya tak menghiraukan kami kini malah mengerumuni kami. Aku merasa di atas angin. Kalau begini kan jelas siapa yang salah.
            Gadis itu tersenyum lembut, suaranya melunak “Maaf ya kalau Mbak salah sangka. Tapi yang jelas saya bukan maksud apa-apa. Saya ini cuman melaksanakan kewajiban saya. Adik ini, sayalah yang merawatnya. Saya juga yang bertanggung jawab terhadapnya. Jadi jika yang ia lakukan tadi adalah kesalahan, maka saya wajib mengingatkan sebagai bentuk tanggung jawab saya, sekaligus yang merawat Adik ini” Penjelasannya yang tutur perlahan membuka arah pikiranku yang tadi memanas. Amarah yang tadi berkobar-kobar berganti menjadi rasa malu yang amat sangat. Orang-orang yang baru berkerumun langsung mengerti begitu mendengar penjelasan gadis berjilbab itu.
            Aku hanya terdiam malu.Sungguh rasanya benar-benar bodoh. Kulemparkan senyum masam padanya. Nampaknya gadis itu pun mengerti. Ia bahkan menjulurkan tangannya dan menyalamiku. Wajah putih bersihnya memberi senyum pengertian kepada kami semua.
            Kerumunan perlahan bubar. Aku merasa tidak enak ikut meninggalkan merekatanpa pamit begitu saja, apalagi kepada gadis tersebut.            Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Faras. Rupanya memang seorang aktivis jalanan. Walau sebenarnya ia tak bergabung dalam LSM mana pun, namun ia sering membantu para anak-anak gelandangan, pengamen, pengemis. Suatu hal yang tak pernah kukenal sebelumnya dalam kehidupan pergaulanku yang selama ini kupikir sangat borjuis.
            Kami bercakap-cakap sebentar, lalu aku pamit untuk kembali ke hotel. Sungguh pertemuan yang sangat menarik dengan gadis bernama Faras itu. Ia berjanji akan mengajakku berkeliling kota Solo lain kali.
***
            Sudah sekitar dua minggu kuhabiskan waktuku di Solo. Dan petualaganku kali ini berbeda. Ya, dengan ditemani Faras seolah liburanku sangat berarti. Aku mendapat berbagai banyak hal yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Memang sesuatu yang berbeda. Hampir setiap hari Faras mengajakku mengunjungi tempat-tempat penampungan anak-anak jalanan. Hampir setiap hari pula Faras mengajariku menjadi seseorang berjiwa sosial. Walau kadang aku harus menunggu selesai kuliah, tapi aku senang bias menghabiskan bersamanya dan juga anak-anak jalanan yang lain. Begitu pula hari ini.
            Solo yang menyengat sudah biasa. Aku terduduk letih. Beberapa kali aku menyeruput dinginnya es campur ditemani Faras. Kali ini kami telah mengunjungi sebuah panti asuhan dan membagikan beberapa bantuan bersama teman-teman aktivis Faras lainnya. Rasa lelah nampaknya juga diraskan faras walau hal itu sudah biasa merupakan makanan sehari-harinya.
            Kami berdua terdiam sama-sama menikmati es campur. Iseng kutanyakan padanya
            “Menurutmu apa yang kau dapatkan dari semua ini? Apa kau tidak takut jika suatu hari kau tak sanggup lagi menghidupi mereka? Apa kau tak takut jika itu justru membuat mereka tak bias mandiri ?” Tanyaku.
            “Kau sendiri ? Apa kau merasakan manfaat dari petualanganmu selama ini? Perlarian dari orang tuamu, mengkhianati kepercayaanmu sendiri bahkan?” Pertanyaan Faras yang tak terduga tersebut membuatku tersentak.
            Aku hanya menggeleng. “Lalu?” Tanyaku kembali.
            Faras menghela napas panjang, dan menjawab “Aku tak ingin mencari nilai materiil dari apa yang aku lakukan. Aku hanya mencari keikhlasan dari setiap amal perbuatanku, begitu pula dengan temanku lainnya. Kalau soal hal itu akan memanjakan mereka, tentu saja aku juga sudah memikirkan itu sebelumnya. Aku tak mungkin membiayai keperluan mereka semua. Aku hanya membiayai bagi mereka yang ingin maju. Aku tak takut jika suatu hari nanti aku tak bias menghidupi mereka lagi, sebab aku tahu, masih banyak tangan-tangan dermawan yang mau mengulurkan tangannya kepada mereka”
            Kini aku mengerti. Jiwa lembut Faras yang seolah tak pernah hilang digerogoti tantangan sosial ini. Lantas aku? Aku bahkan tak pernah menemui sesuatu yang pernah berarti dalam hidupku.
            “Memangnya arti keikhlasan itu sendiri apa ?” Tanyaku begitu saja tanpa sadar.
            Faras tersenyum lembut. “Kau belum merasakannya ya? Periksa hatimu. Mungkin telah hangus terbakar riya” Jawab Faras tak kumengerti.
            Belum sempat aku lemparkan pertanyaan berikutnya, seorang gadis kumal kecil berlari kearah kami. Tubuhnya terengah-engah akibat berlari kencang. Faras yang melihatnya penasaran.
            “Ada apa Sekar?” Tanya Faras heran, begitu pula aku.
            “Mbak Faras, bagaimana ini… Si Bayu Mbak, dia tertangkap basah mencopet” Kalimat yang diucapkan gadis itu membuat kami tersentak kaget bukan main.
            “Bayu? Mencopet? Kenapa ?” Tanya Faras tak percaya. Sekar hanya menggeleng.
            Kemudian Sekar mengantarkan kami di tempat kejadian. Dari kejauhan, aku melihat kerumunan. Faras berjalan mendahului kami dan menorobos kerumunan. Aku pun berlari menyusulnya.
            Kulihat sesosok laki-laki kurus kumal itu tertunduk malu. Matanya sembab. Ada beberapa bekas lebam di pipinya. Faras yang sejak tadi berbicara dengan bapak-bapak yang kupikir ‘korban’ pencopetan itu meminta pengertian. Ia mengatakan bahwa Bayu masih di bawah umur. Lagi pula Bayu tidak mengambil sepeser uang pun dari dompet Bapak tersebut.
            “Enak saja. Maling ya tetap saja maling. Saya tetap akan melaporkan ini ke pihak yang berwajib. Kau pikir akan kubiarkan begitu saja sampah masyarakat ini, hah?” Bentak Bapak-bapak tersebut.
            Faras tak henti-hentinya meyakinkannnya. “Tapi dia masih di bawah umur. Lagi pula ini pertama kalinya dia mencuri. Saya yakin itu. Saya kenal sekali dengan anak ini.” Kata Faras seraya menunjuk Bayu.
            Bapak itu tak peduli. Ia justru akan menuntut Faras juga sebagai pertanggung jawaban. Kulihat sekilas Bayu menangis. Faras terus memohon kepada bapak tersebut dan meminta bentuk pertanggung jawaban yang lain. Bapak itu terdiam sejenak.
            “Ganti rugi!” Jawab Bapak itu.
            “Berapa?” Tanyaku kali ini ikut menengahi.
“Lima ratus ribu!” jawab bapak itu tak ragu sama sekali.
Baik aku maupun Faras tersentak. “Bapak kira ini kejahatan macam apa ? Saya bisa menuntut balik perlakuan Bapak ini!” Aku melihat Bapak itu tak peduli dan tetap pada keputusannya. Aku kembali menengahi,
“Baik. Ini. Cukupkan ?” Kataku seraya menyodorkan lima lembar seratus ribuan dari dalam dompetku. Kulihat Bapak itu setuju.
Faras tersenyum masam kepadaku, tak enak menerimanya. Aku hanya tersenyum. Keikhlasan tak bisa dinilai dari materiil bukan? Ya, kali ini aku bisa merasakannya. Indahnya suatu keikhlasan.
Tiba-tiba Bayu berlari kabur meninggalkan kami. Faras terperanjat. Aku pun langsung berlari mengejarnya. Secepat kilat kulihat tubuh Bayu menyelinap diantar kerumunan pinggir jalan. Ia berhasil keluar. Kulihat ia akan menyebrang jalan. Sial! Aku pun berlari semakin kencang dan berhasil menarik lengan Bayu. Bayu berusaha mengelak. Aku pun tak bisa menahannya hingga sebuah sedan yang sedang melaju kencang di jalanan yang renggang melintas kencang kearah kami. Kutarik lengan Bayu cepat. Dan ….
“BRAKKK” Tubuhku terlempar beberapa meter. Suara benturan keras mengoyak suasana yang ricuh.
Aku terkapar tak berdaya. Kurasakan sakit yang teramat sangat. Ada darah mengalir dari sudut kepalaku. Bumi seperti bergoyang. Keikhlasan, batinku. Kembali terngiang kalimat Faras di benakku. Ya, kali ini aku bnar-benar merasakannya. Kesejukan dari nilai keikhlasan di hatiku yang gersang.
Kulihat sekilas Faras berlari mendekatiku dengan wajah pucat. Kemuadian aku tak sanggup membuka mata. Darah yang mengalir semakin deras. Hati nuraniku memilah-milah kesedihan yang bercampur beningnya pengorbanan ini. Aku merintih pelan. Dan kini kutahu, selama ini, inilah yang kucari. Kesejukan di hatiku. Dan aku pun tak sadarkan diri.