Kamis, 19 Juli 2012

Behind The Eyes



Mata itu terbuka perlahan. Beberapa orang mengerumuninya dengan perasaan cemas. Beberapa diantaranya bahkan tak sanggup meneteskan air mata. Dan mata itupun akhirnya terbuka. Pemilik mata itu adalah Dino.
            “Astaga!” Akhirnya Dino mendesis penuh kekaguman.
            Dan beberapa orang langsung tersadar. Seorang gadis kecil berjalan menghampiri Dino dengan penuh harap. Adik semata wayang Dino itupun duduk dihadapan Dino. Mengamati wajah tampan sang kakak.
            Kedua tangan dino menyentuh wajah Thea, gadis kecil tersebut, kemudian membelainya.
            “Thea, kakak....kakak bisa melihatmu”serunya, nyaris memekik.
            Semua orang di ruangan itupun ikut terharu. Sebuah kelegaan setelah operasi transplantasi kornea itu berjalan dengan lancar tak lebih dari dua jam.
            “Sekarang ini masih sangat buram. Tapi pasti akan membaik dalam beberapa hari ini. Sekarang, yang perlu kita kuatirkan cuma reaksi penolakan mata Dino terhadap donor yang diterimanya. Tapi saya sudah memberikan obat-obatan pencegah yang mudah-mudahan bermanfaat. Tinggal dipakai secara rutin saja,” jelas Dokter panjang lebar.
            Dokter itu kemudian menghampiri Dino. Lalu memakaikan pelindung mata yang sedikit mirip kacamata renang. “Nah, Dino. Jangan sampai kena air. Jangan sampai kena benda apapun. Pakai selalu google ini selama paling tidak dua minggu kedepan.”
            Sambil mengangguk mantap, Dino menatap Dokter itu penuh terima kasih. Dalam hati Dino, sebuah bara api menyala. Bara api yang selama ini terpendam dalam kebutaan Dino terhadap seseorang yang telah membuat Ia kehilangan sepasang matanya itu.
***
            “Kakaaaaaaaaak... sudah kubilang jangan kemana-mana. Mata kakak kan belum sembuh benar. Lah ini langsung minta pergi ke Jakarta. Thea kan juga masih sekolah.” Cerca Thea yang terus membuntuti kakaknya yang sama sekali tidak mendengarkannya itu.
            Dino pun langsung menghentikan langkahnya. Ia menatap adiknya itu kesal. “Aku kan tidak memintamu mengantarku. Lagi pula mataku juga sudah sembuh, aku sudah tidak memakai pelindung mata itu. Dokter juga bilang  mataku sudah pulih benar. Kamu ini cerewet sekali. Sana kamu pulang saja, nanti biar aku telponkan tante Neni.” Kata Dino seraya melanjutkan langkahnya. Kali ini Ia benar-benar mantap.
            Thea hanya terdiam di tempatnya. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya terhadap kakaknya itu. Ia sangat tahu sifat keras kepala kakaknya. Tentu tidaklah mudah menghentikan niat kakaknya selain... selain... tiba-tiba Thea teringat sesuatu. Ia bisa menebak kemana kakanya itu akan pergi.
            “Apa kakak akan menemui kak Rendhi ? Apa kakak akan melakukan sesuatu terhadapnya ?” tanya Thea hati-hati.
            Dino kembali menghentikan langkahnya. Mendengar nama musuh bebuyutannya itu disebut hatinya terasa sangat marah. Sebisa mungkin Ia menahan amarahnya iu di depan adiknya. Kemudian Ia membaliknya badannya.
            “Tidak. Aku sama sekali tidak terpikirkan untuk menemuinya. Aku akan pergi menemui pelatih Nando, hey adik kecil !” Jawab Dino enteng. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa Ia akan pergi menemui Rendhi.
            “Apa kakak akan bermain bola lagi?” Tanya Thea girang. Harapan yang selama ini dinantikannya mungkin akan terwujud.
            Dino hanya mengangguk kemudian langsung pergi meninggalkan Thea. Ia langsung menaiki taksi yang sudah menantinya di depan hotel. Kali ini Thea benar-benar merelakan kakanya pergi karena alasan yang diberikan adalah harapan yang selama ini dinantinya dan seluruh keluarganya.
            Sementara itu, di dalam taksi Dino terus merasa cemas. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. Ia memang akan meniti karirnya lagi menjadi pesepak bola profesional seperti sebelumnya. Namun kembali bayangan Rendhi muncul di hadapannya sebagai rekan satu tim. Kebencian akan orang yang telah merenggut kedua matanya serta memporak-porandakan karirnya itu, serta kebencian karena telah membuat ibunya yang rela mati demi mengorbankan sepasang mata untuknya. Hatinya kembali teremas-remas oleh amarahnya. Ia menghela nafas panjang. Ia tak boleh terbawa emosi. Setelah uji coba untuk kembali masuk ke klub selesai, mungkin ia akan menyelesaikan masalahnya dengan Rendhi yang tak pernah datang menemuinya bahkan untuk sekedar minta maaf.
            Setelah beberapa lama, taksi itu sampai di tujuan. Dino segera turun. Ia menatap bangunan besar di hadapannya. Tempat dimana dulu Ia meniti karirnya bersama tim kesebelasannya sebelum Ia kehilangan sepasang matanya. Dengan mantap, Ia masuk ke bangunan tersebut.
***
            Sebuah peluit panjang berbunyi. Dan seorang laki-laki jakung itu langsung memulai untuk mengoper bola. Di atas lapangan hijau itu, beberapa orang mengerumuninya untuk melihat aksi yang dulunya pahlawan sepak bola. Beberapa bola berhasil menjebol gawang berkat laki-laki tersebut. Ya, laki-laki itu tak lain adalah Dino. Kembali sebuah peluit panjang mengakhiri laga uji coba tersebut. Seorang pelatih menghampiri Dino sambil bertepuk tangan. Wajahnya sangat sumringah melihat penampilan Dino.
            “Ckckck, hebat sekali permainanmu Dino. Sama sekali tidak berkurang dengan sebelumnya. Bahkan kulihat ada banyak sekali peningkatan. Sulit dibayangkan bahwa kamu dulu pernah kehilangan matamu. Luar biasa.” Salut pelatih bernama Nando. Kemudian ia duduk di atas lapangan disamping Dino.
            Dino hanya tersenyum ringan. Kemudian ia meneguk air mineral hingga habis.Ia tahu benar yang telah membuat penampilannya tadi gemilang bukanlah semata wayang akan dirinya, tetapi adalah semangatnya.
            Setelah berbicara panjang dengan pelatih melepas kerinduan setelah beberapa tahun tidak bertemu, Dino pamit untuk pergi ke asrama pemain bola. Ada seseorang yang ingin Ia temui.
            Sesampainya di asrama, Ia sengaja memakai kacamata hitam yang dulu sering digunakannya. Ia bahkan memakai tongkat. Ia berjalan dengan santainya mengitari ruangan tersbut. Ada sedikit kerinduan di hatinya. Hingga pada suatu koridor, ia bertemu dengan segerombolan orang. Ia tahu benar siapa mereka. Ya, itu adalah teman-temannya ! Ia berhenti sejenak dan mengetok-ngetok tongkatnya ke lantai. Mereka langsung menyadari kehadiran Dino.
            “Dinooooo!!!!!” seru mereka nyaris bersamaan. Beberapa diantara mereka bahkan langsung memeluk Dino. Beberapa pertanyaan langsung mencerca Dino dari teman-temannya itu. Dino hanya menjawab sekenanya. Ia mencari-cari sosok Rendhi. Dan akhirnya Ia melihatnya disudut koridor hanya terdiam. Wajahnya pucat. Beberapa saat kemudian, Rendhi pergi meninggalkan teman-temannya termasuk Dino. Ia pergi tanpa mengatakan apapun. Dibenaknya, Ia masih mengira bahwa Dino buta.
            Melihat Rendhi yang pergi dan melintasinya, Dino langsung melepaskan pelukan teman-temannya.
            “Begitu melihat teman yang 2 tahun tidak kau temui, apakah itu perlakuanmu? Setelah 2 tahun kehilangan mataku, apa kau pikir aku akan diam saja ?” tanya Dino sambil menoleh dan membalikkan badan menghadap Rendhi.
            Rendhi langsung menghentikan langkahnya. Teman-teman yang mendengarnyapun tersentak. Seketika ruangan langsung hening. Perlahan, dino melepas kacamata dan melipat tongkatnya. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke teman-temannya, termasuk Rendhi. Kemudian Ia tersenyum.
            “Ya, aku sudah mendapatkan donor kornea dari ibuku sendiri yang beberapa bulan lalu meninggal dunia. Aku bahkan sudah melakukan ujicoba tadi dengan pelatih Nando. Dan hasilnya... aku kembali bergabung dengan tim” jelas Dino.
            Serentak temannya mengucap selamat kepada Dino, kebahagiaan akan kembalinya sang pahlawan. Sementara itu, Dino kembali menatap Rendhi. Rendhi masih terdiam dan menunduk. Wajahnya bahkan semakin pucat. Melihatnya, Dino langsung meminta teman-temannya untuk membiarkan dirinya dan Rendhi untuk berbicara berdua. Teman-temannya itupun langsung meninggalkan mereka berdua. Paham.
            Dino berjalan selangkah menghampiri Rendhi. Ia menahan perasaannya. Rendhi masih menunduk.
“Ma maafkan aku Din, sungguh aku minta maaf.. aku.. aku...” kata Rendhi terbata-bata. Tak terasa air mata meleleh dari sudut matanya.
            Dino menghela nafas, kemudian menjawab, “Setelah menghilangkan penglihatanku, setelah membuat ibuku mengorbankan nyawanya hanya demi aku, setelah membuat karirku hancur begitu saja, kau bahkan masih berpikir aku aku memaafkanmu ?!” seru Dino dengan suara tertahan. Sebisa mungkin Ia tidak meluapkan emosinya untuk memukul Rendhi.
            Rendhi terdiam. Ia mengangkat kepalanya. Air mata semakin deras. Ada kebingungan di wajahnya.
            “Apa ibumu ..” tanya Rendhi tak sanggup mengataknnya.
            Dino hanya tersenyum sinis. Batinnya semakin terkoyak. “Ya! Tapi apa yang kau lakukan sampai saat ini, Ha ?! Dengar baik-baik ya.Posisimu sebagai striker terbaik disini aku kurebut. Dan apa kau tahu, pertandingan melawan Thailand nanti, pelatih telah memintaku untuk menjadi kapten ! Sama sekali bukan kau ! Apa kau tahu apa artinya itu ? Semua kesuksesan yang kau raih diatas penderitaanku itu sedikit demi sedikit akan kuhancurkan !” Kata Dino dengan suara dikuat-kuatkan. Kemudian, Dino langsung meninggalkan Rendhi sendiri. Di ruangan itu sendiri, dengan perasaan hancur lebur.
***
            Seperti apa yang dikatakan Dino, petaka itu benar-benar datang kepada Rendhi ! Posisi terdepan striker kini dipegang oleh Dino. Dan bukan hanya itu, selama beberapa pertandingan, Rendhi yang biasanya paling banyak mencetak gol, kini sama sekali tidak menghasilkannya. Setiap bola yang digiring oleh Rendhi dengan mudahnya direbut oleh Dino. Rendhi yang selama ini digandrungi oleh teman-temannya pun kini satu persatu beralih ke Dino. Berbagai infotaiment pun mengbarkan kegemilangan Rendhi yang selama ini Ia capai telah jatuh ke tangan Dino, pemain yang dulu berjaya.
            Mau tak mau, berita itupun terdengar ke pelatih Nando. Ia dapat mencium bau permusuhan antara Dino dan Rendhi. Pagi itu juga, Ia langsung memanggil Dino keruangannya.
            “Mengapa kamu melakukan ini terhadap Rendhi ? Kenapa kamu tidak mau mengoper bola sekalipun kepadanya ? kenapa kau tidak pernah memberikannya kesempatan untuk menggiring bola? Kamu pikir pertandingan itu milikmu?” Cerca Pelatih Nando dengan sengit. Ia tidak mengharapkan ada permusuhan di klub asuhannya itu.
            “Tidak ada. Sama sekali tidak ada yang terjadi dengan kami. Aku hanya memberikannya sedikit pelajaran kepadanya.” Jawab Dino enteng.
            Pelatih Nando menghela nafas panjang. Sangatlah susah memadamkan dendam yang sudah membatu selama 2 tahun itu. “Itu adalah kecelakaan Dino.Bagaimana pun Rendhi tidak bersalah meskipun Ia yang menggoncengkanmu. Bukankah polisi juga mengatakan itu adalah kecelakaan?” Pelatih Nando sebisa mungkin memberikan penjelasan.
            “Kecelakaan kata bapak? Jika saja waktu itu Rendhi tidak memaksaku untuk pergi, aku tidak akan kehilangan sepasang mataku. Ibuku juga tidak akan kehilangan nyawanya demi aku !” Bentak Dino. Amarah di hatinya tak tertahankan.
            Pelatih Nando kembali menghela nafas. Kali ini, ia akan mengatakan sebenar-benarnya.
“Apa kau tahu, 2 tahun lalu Rendhi berusahan akan bunuh diri? Apa kau tahu betapa putus asanya Rendhi begitu mendengar kamu kehilangan penglihatan? Ia berusaha meyakinkanku untuk tidak mengeluarkanmu dari tim. Ia rela keluar dari tim jika itu akan membuatmu puas. Tapi kenyataannya, dia tidak bisa keluar begitu saja, karena waktu itu dia adalah tulang punggung keluarganya. Ayahnya yang sakit-sakitan dan Ibunya yang telah meninggal dunia, dan ketiga adiknya yang masih harus bersekolah, apa kau tidak tahu itu?” Jelas Pelatih Nando.
Dino hanya terdiam. Tak disangka ada sebuah kenyataan dibalik semua.
“Tapi, setidaknya ia meminta maaf kepadaku? Setidaknya dia memohon kepada ibuku untuk tidak melakukan semua ini!” Sengit Dino.
Pelatih Nando menatap Dino dalam. Ia tahu bahwa selama ini Dino hanya menelan api kesalah pahaman. “Dia sudah melakukannya. Berkali-kali. Tapi Ibumu tidak pernah mengijinkannya. Ibumu tahu apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu dengannya. Dan juga... Ibumu tidak meninggal dengan mengorbankan nyawanya begitu saja, dia meninggal karena penyakit Dino..” lirih Pelatih Nando.
“Ibu sakit juga karena dirinya! Ibu sakit karena tidak kuat melihat penderitaanku!” pekik Dino.
“Anakku, kamu tidak boleh menyalahkan takdir hanya karena perasaan dendam. Aku tahu benar bagaimana penderitaanmu atas kehilangan sepasang mata dan ibumu. Tapi kau harus tahu, kau tidak boleh menyalahkan Rendhi. Jika kau menyalahkan oranglain atas kehendak Yang Maha Kuasa, maka tak ada bedanya kau ini dengan pecundang”
“Dengar baik-baik. Mulai sekarang, aku tidak ingin mendengar kalian berdua bermusuhan. Kau juga tidak boleh egois terhadapnya. Jika saja waktu itu kau mau bekerja sama dengan Rendhi, mungkin kalian berdua akan menjadi mesin pencetak gol sepanjang masa. Lagi pula, ini bukanlah permainanmu. Ini adalah permainan kita semua. Kita bermain bukan untuk mendapat ketenaran. Kita bermain untuk Sang Garuda. Bagaimanpun perasaanmu terhadap seseorang, kau tidak boleh menyangkutkan itu dalam sepak bola” Jelas Pelatih Nando panjang lebar.
Dino hanya terdiam. Dalam hatinya gerimis perlahan menyirami api dendam yang selama ini menyala. Dari lubuk hatinya, ia juga tidak ingin mencari musuh dengan teman-temannya. Kali ini ia sadar. Setetes demi setetes air mata meleleh dari sudut matanya. Benar, Ia telah mempermalukan nama Garuda demi kebencian di hatinya.
            Ia berjanji dalam hati. Ia akan meminta maaf kepada semuanya. Ibunya, teman-temannya, Rendhi, dan yang paling penting, Sang Garuda.



Cerpen tema nasionalisme *tugas MOS* hehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 19 Juli 2012

Behind The Eyes



Mata itu terbuka perlahan. Beberapa orang mengerumuninya dengan perasaan cemas. Beberapa diantaranya bahkan tak sanggup meneteskan air mata. Dan mata itupun akhirnya terbuka. Pemilik mata itu adalah Dino.
            “Astaga!” Akhirnya Dino mendesis penuh kekaguman.
            Dan beberapa orang langsung tersadar. Seorang gadis kecil berjalan menghampiri Dino dengan penuh harap. Adik semata wayang Dino itupun duduk dihadapan Dino. Mengamati wajah tampan sang kakak.
            Kedua tangan dino menyentuh wajah Thea, gadis kecil tersebut, kemudian membelainya.
            “Thea, kakak....kakak bisa melihatmu”serunya, nyaris memekik.
            Semua orang di ruangan itupun ikut terharu. Sebuah kelegaan setelah operasi transplantasi kornea itu berjalan dengan lancar tak lebih dari dua jam.
            “Sekarang ini masih sangat buram. Tapi pasti akan membaik dalam beberapa hari ini. Sekarang, yang perlu kita kuatirkan cuma reaksi penolakan mata Dino terhadap donor yang diterimanya. Tapi saya sudah memberikan obat-obatan pencegah yang mudah-mudahan bermanfaat. Tinggal dipakai secara rutin saja,” jelas Dokter panjang lebar.
            Dokter itu kemudian menghampiri Dino. Lalu memakaikan pelindung mata yang sedikit mirip kacamata renang. “Nah, Dino. Jangan sampai kena air. Jangan sampai kena benda apapun. Pakai selalu google ini selama paling tidak dua minggu kedepan.”
            Sambil mengangguk mantap, Dino menatap Dokter itu penuh terima kasih. Dalam hati Dino, sebuah bara api menyala. Bara api yang selama ini terpendam dalam kebutaan Dino terhadap seseorang yang telah membuat Ia kehilangan sepasang matanya itu.
***
            “Kakaaaaaaaaak... sudah kubilang jangan kemana-mana. Mata kakak kan belum sembuh benar. Lah ini langsung minta pergi ke Jakarta. Thea kan juga masih sekolah.” Cerca Thea yang terus membuntuti kakaknya yang sama sekali tidak mendengarkannya itu.
            Dino pun langsung menghentikan langkahnya. Ia menatap adiknya itu kesal. “Aku kan tidak memintamu mengantarku. Lagi pula mataku juga sudah sembuh, aku sudah tidak memakai pelindung mata itu. Dokter juga bilang  mataku sudah pulih benar. Kamu ini cerewet sekali. Sana kamu pulang saja, nanti biar aku telponkan tante Neni.” Kata Dino seraya melanjutkan langkahnya. Kali ini Ia benar-benar mantap.
            Thea hanya terdiam di tempatnya. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya terhadap kakaknya itu. Ia sangat tahu sifat keras kepala kakaknya. Tentu tidaklah mudah menghentikan niat kakaknya selain... selain... tiba-tiba Thea teringat sesuatu. Ia bisa menebak kemana kakanya itu akan pergi.
            “Apa kakak akan menemui kak Rendhi ? Apa kakak akan melakukan sesuatu terhadapnya ?” tanya Thea hati-hati.
            Dino kembali menghentikan langkahnya. Mendengar nama musuh bebuyutannya itu disebut hatinya terasa sangat marah. Sebisa mungkin Ia menahan amarahnya iu di depan adiknya. Kemudian Ia membaliknya badannya.
            “Tidak. Aku sama sekali tidak terpikirkan untuk menemuinya. Aku akan pergi menemui pelatih Nando, hey adik kecil !” Jawab Dino enteng. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa Ia akan pergi menemui Rendhi.
            “Apa kakak akan bermain bola lagi?” Tanya Thea girang. Harapan yang selama ini dinantikannya mungkin akan terwujud.
            Dino hanya mengangguk kemudian langsung pergi meninggalkan Thea. Ia langsung menaiki taksi yang sudah menantinya di depan hotel. Kali ini Thea benar-benar merelakan kakanya pergi karena alasan yang diberikan adalah harapan yang selama ini dinantinya dan seluruh keluarganya.
            Sementara itu, di dalam taksi Dino terus merasa cemas. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. Ia memang akan meniti karirnya lagi menjadi pesepak bola profesional seperti sebelumnya. Namun kembali bayangan Rendhi muncul di hadapannya sebagai rekan satu tim. Kebencian akan orang yang telah merenggut kedua matanya serta memporak-porandakan karirnya itu, serta kebencian karena telah membuat ibunya yang rela mati demi mengorbankan sepasang mata untuknya. Hatinya kembali teremas-remas oleh amarahnya. Ia menghela nafas panjang. Ia tak boleh terbawa emosi. Setelah uji coba untuk kembali masuk ke klub selesai, mungkin ia akan menyelesaikan masalahnya dengan Rendhi yang tak pernah datang menemuinya bahkan untuk sekedar minta maaf.
            Setelah beberapa lama, taksi itu sampai di tujuan. Dino segera turun. Ia menatap bangunan besar di hadapannya. Tempat dimana dulu Ia meniti karirnya bersama tim kesebelasannya sebelum Ia kehilangan sepasang matanya. Dengan mantap, Ia masuk ke bangunan tersebut.
***
            Sebuah peluit panjang berbunyi. Dan seorang laki-laki jakung itu langsung memulai untuk mengoper bola. Di atas lapangan hijau itu, beberapa orang mengerumuninya untuk melihat aksi yang dulunya pahlawan sepak bola. Beberapa bola berhasil menjebol gawang berkat laki-laki tersebut. Ya, laki-laki itu tak lain adalah Dino. Kembali sebuah peluit panjang mengakhiri laga uji coba tersebut. Seorang pelatih menghampiri Dino sambil bertepuk tangan. Wajahnya sangat sumringah melihat penampilan Dino.
            “Ckckck, hebat sekali permainanmu Dino. Sama sekali tidak berkurang dengan sebelumnya. Bahkan kulihat ada banyak sekali peningkatan. Sulit dibayangkan bahwa kamu dulu pernah kehilangan matamu. Luar biasa.” Salut pelatih bernama Nando. Kemudian ia duduk di atas lapangan disamping Dino.
            Dino hanya tersenyum ringan. Kemudian ia meneguk air mineral hingga habis.Ia tahu benar yang telah membuat penampilannya tadi gemilang bukanlah semata wayang akan dirinya, tetapi adalah semangatnya.
            Setelah berbicara panjang dengan pelatih melepas kerinduan setelah beberapa tahun tidak bertemu, Dino pamit untuk pergi ke asrama pemain bola. Ada seseorang yang ingin Ia temui.
            Sesampainya di asrama, Ia sengaja memakai kacamata hitam yang dulu sering digunakannya. Ia bahkan memakai tongkat. Ia berjalan dengan santainya mengitari ruangan tersbut. Ada sedikit kerinduan di hatinya. Hingga pada suatu koridor, ia bertemu dengan segerombolan orang. Ia tahu benar siapa mereka. Ya, itu adalah teman-temannya ! Ia berhenti sejenak dan mengetok-ngetok tongkatnya ke lantai. Mereka langsung menyadari kehadiran Dino.
            “Dinooooo!!!!!” seru mereka nyaris bersamaan. Beberapa diantara mereka bahkan langsung memeluk Dino. Beberapa pertanyaan langsung mencerca Dino dari teman-temannya itu. Dino hanya menjawab sekenanya. Ia mencari-cari sosok Rendhi. Dan akhirnya Ia melihatnya disudut koridor hanya terdiam. Wajahnya pucat. Beberapa saat kemudian, Rendhi pergi meninggalkan teman-temannya termasuk Dino. Ia pergi tanpa mengatakan apapun. Dibenaknya, Ia masih mengira bahwa Dino buta.
            Melihat Rendhi yang pergi dan melintasinya, Dino langsung melepaskan pelukan teman-temannya.
            “Begitu melihat teman yang 2 tahun tidak kau temui, apakah itu perlakuanmu? Setelah 2 tahun kehilangan mataku, apa kau pikir aku akan diam saja ?” tanya Dino sambil menoleh dan membalikkan badan menghadap Rendhi.
            Rendhi langsung menghentikan langkahnya. Teman-teman yang mendengarnyapun tersentak. Seketika ruangan langsung hening. Perlahan, dino melepas kacamata dan melipat tongkatnya. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke teman-temannya, termasuk Rendhi. Kemudian Ia tersenyum.
            “Ya, aku sudah mendapatkan donor kornea dari ibuku sendiri yang beberapa bulan lalu meninggal dunia. Aku bahkan sudah melakukan ujicoba tadi dengan pelatih Nando. Dan hasilnya... aku kembali bergabung dengan tim” jelas Dino.
            Serentak temannya mengucap selamat kepada Dino, kebahagiaan akan kembalinya sang pahlawan. Sementara itu, Dino kembali menatap Rendhi. Rendhi masih terdiam dan menunduk. Wajahnya bahkan semakin pucat. Melihatnya, Dino langsung meminta teman-temannya untuk membiarkan dirinya dan Rendhi untuk berbicara berdua. Teman-temannya itupun langsung meninggalkan mereka berdua. Paham.
            Dino berjalan selangkah menghampiri Rendhi. Ia menahan perasaannya. Rendhi masih menunduk.
“Ma maafkan aku Din, sungguh aku minta maaf.. aku.. aku...” kata Rendhi terbata-bata. Tak terasa air mata meleleh dari sudut matanya.
            Dino menghela nafas, kemudian menjawab, “Setelah menghilangkan penglihatanku, setelah membuat ibuku mengorbankan nyawanya hanya demi aku, setelah membuat karirku hancur begitu saja, kau bahkan masih berpikir aku aku memaafkanmu ?!” seru Dino dengan suara tertahan. Sebisa mungkin Ia tidak meluapkan emosinya untuk memukul Rendhi.
            Rendhi terdiam. Ia mengangkat kepalanya. Air mata semakin deras. Ada kebingungan di wajahnya.
            “Apa ibumu ..” tanya Rendhi tak sanggup mengataknnya.
            Dino hanya tersenyum sinis. Batinnya semakin terkoyak. “Ya! Tapi apa yang kau lakukan sampai saat ini, Ha ?! Dengar baik-baik ya.Posisimu sebagai striker terbaik disini aku kurebut. Dan apa kau tahu, pertandingan melawan Thailand nanti, pelatih telah memintaku untuk menjadi kapten ! Sama sekali bukan kau ! Apa kau tahu apa artinya itu ? Semua kesuksesan yang kau raih diatas penderitaanku itu sedikit demi sedikit akan kuhancurkan !” Kata Dino dengan suara dikuat-kuatkan. Kemudian, Dino langsung meninggalkan Rendhi sendiri. Di ruangan itu sendiri, dengan perasaan hancur lebur.
***
            Seperti apa yang dikatakan Dino, petaka itu benar-benar datang kepada Rendhi ! Posisi terdepan striker kini dipegang oleh Dino. Dan bukan hanya itu, selama beberapa pertandingan, Rendhi yang biasanya paling banyak mencetak gol, kini sama sekali tidak menghasilkannya. Setiap bola yang digiring oleh Rendhi dengan mudahnya direbut oleh Dino. Rendhi yang selama ini digandrungi oleh teman-temannya pun kini satu persatu beralih ke Dino. Berbagai infotaiment pun mengbarkan kegemilangan Rendhi yang selama ini Ia capai telah jatuh ke tangan Dino, pemain yang dulu berjaya.
            Mau tak mau, berita itupun terdengar ke pelatih Nando. Ia dapat mencium bau permusuhan antara Dino dan Rendhi. Pagi itu juga, Ia langsung memanggil Dino keruangannya.
            “Mengapa kamu melakukan ini terhadap Rendhi ? Kenapa kamu tidak mau mengoper bola sekalipun kepadanya ? kenapa kau tidak pernah memberikannya kesempatan untuk menggiring bola? Kamu pikir pertandingan itu milikmu?” Cerca Pelatih Nando dengan sengit. Ia tidak mengharapkan ada permusuhan di klub asuhannya itu.
            “Tidak ada. Sama sekali tidak ada yang terjadi dengan kami. Aku hanya memberikannya sedikit pelajaran kepadanya.” Jawab Dino enteng.
            Pelatih Nando menghela nafas panjang. Sangatlah susah memadamkan dendam yang sudah membatu selama 2 tahun itu. “Itu adalah kecelakaan Dino.Bagaimana pun Rendhi tidak bersalah meskipun Ia yang menggoncengkanmu. Bukankah polisi juga mengatakan itu adalah kecelakaan?” Pelatih Nando sebisa mungkin memberikan penjelasan.
            “Kecelakaan kata bapak? Jika saja waktu itu Rendhi tidak memaksaku untuk pergi, aku tidak akan kehilangan sepasang mataku. Ibuku juga tidak akan kehilangan nyawanya demi aku !” Bentak Dino. Amarah di hatinya tak tertahankan.
            Pelatih Nando kembali menghela nafas. Kali ini, ia akan mengatakan sebenar-benarnya.
“Apa kau tahu, 2 tahun lalu Rendhi berusahan akan bunuh diri? Apa kau tahu betapa putus asanya Rendhi begitu mendengar kamu kehilangan penglihatan? Ia berusaha meyakinkanku untuk tidak mengeluarkanmu dari tim. Ia rela keluar dari tim jika itu akan membuatmu puas. Tapi kenyataannya, dia tidak bisa keluar begitu saja, karena waktu itu dia adalah tulang punggung keluarganya. Ayahnya yang sakit-sakitan dan Ibunya yang telah meninggal dunia, dan ketiga adiknya yang masih harus bersekolah, apa kau tidak tahu itu?” Jelas Pelatih Nando.
Dino hanya terdiam. Tak disangka ada sebuah kenyataan dibalik semua.
“Tapi, setidaknya ia meminta maaf kepadaku? Setidaknya dia memohon kepada ibuku untuk tidak melakukan semua ini!” Sengit Dino.
Pelatih Nando menatap Dino dalam. Ia tahu bahwa selama ini Dino hanya menelan api kesalah pahaman. “Dia sudah melakukannya. Berkali-kali. Tapi Ibumu tidak pernah mengijinkannya. Ibumu tahu apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu dengannya. Dan juga... Ibumu tidak meninggal dengan mengorbankan nyawanya begitu saja, dia meninggal karena penyakit Dino..” lirih Pelatih Nando.
“Ibu sakit juga karena dirinya! Ibu sakit karena tidak kuat melihat penderitaanku!” pekik Dino.
“Anakku, kamu tidak boleh menyalahkan takdir hanya karena perasaan dendam. Aku tahu benar bagaimana penderitaanmu atas kehilangan sepasang mata dan ibumu. Tapi kau harus tahu, kau tidak boleh menyalahkan Rendhi. Jika kau menyalahkan oranglain atas kehendak Yang Maha Kuasa, maka tak ada bedanya kau ini dengan pecundang”
“Dengar baik-baik. Mulai sekarang, aku tidak ingin mendengar kalian berdua bermusuhan. Kau juga tidak boleh egois terhadapnya. Jika saja waktu itu kau mau bekerja sama dengan Rendhi, mungkin kalian berdua akan menjadi mesin pencetak gol sepanjang masa. Lagi pula, ini bukanlah permainanmu. Ini adalah permainan kita semua. Kita bermain bukan untuk mendapat ketenaran. Kita bermain untuk Sang Garuda. Bagaimanpun perasaanmu terhadap seseorang, kau tidak boleh menyangkutkan itu dalam sepak bola” Jelas Pelatih Nando panjang lebar.
Dino hanya terdiam. Dalam hatinya gerimis perlahan menyirami api dendam yang selama ini menyala. Dari lubuk hatinya, ia juga tidak ingin mencari musuh dengan teman-temannya. Kali ini ia sadar. Setetes demi setetes air mata meleleh dari sudut matanya. Benar, Ia telah mempermalukan nama Garuda demi kebencian di hatinya.
            Ia berjanji dalam hati. Ia akan meminta maaf kepada semuanya. Ibunya, teman-temannya, Rendhi, dan yang paling penting, Sang Garuda.



Cerpen tema nasionalisme *tugas MOS* hehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar